BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Istilah masyarakat
berasal dari bahasa Arab “syarak” yang
artinya ikut serta, berpastisipasi, atau “masyaraka” yang berarti saling
bergaul. Secara umum, masyarakat merupakan kumpulan individu-individu yang
hidup bersama untuk memperoleh kepentingan bersama dalam tatanan kehidupan didalam lingkungannya. Sejak dahulu kita telah hidup
bermasyarakat hingga saat ini. Mayoritas masyarakat tentu menginginkan dalam
sebuah aspek kehidupan yaitu kehidupan yang mandiri dalam aktifitas
masyarakatnya dan berkembang. Kehidupan tersebut dapat menciptakan adanya
keadilan dan kesataraan bagi umat manusia dalam hidup bermasyarakat.
Saat ini kita mulai
berproses menjadi masyarakat madani. Menjadi masyarakat madani tentu melalui
proses panjang. Semua potensi yang dimiliki bangsa Indonesia dipersiapkan dan
diberdayakan untuk terciptanya cita-cita bangsa yaitu menuju masyarakat
madani.Masyarakat madani merupakan masyarakat yang maju dan berperadaban.
Berbicara mengenai masyarakat madani tentu berhubungan erat dengan Madinah.
Karena Madinah-lah Nabi Muhammad SAW menerapkan nilai- nilai keadilan, prinsip
kesetaraan, penegakan hukum, jaminan keadilan untuk semua warga serta
perlindungan terhadap kaum minoritas. Selain itu kita juga harus meneladani
sikap kaum muslim madinah pada masa itu yang dapat hidup seimbang. Maksud dari
hidup seimbang tersebut yaitu tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan
tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka mampu bersikap seimbang dalam
mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebangkitan dan kesejahteraan umat
islam dapat diperoleh apabila sikap seimbang tersebut dapat diteladani oleh
setiap umat islam.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep masyarakat
madani ?.
2. Bagaimana sistem
ekonomi islam dan kesejahteraan umat ?.
3. Bagaimana konsep zakat
dan wakaf menurut ekonomi islam ?.
4.
Bagaimana peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani ?
1.3 TUJUAN
1. Mengetahui konsep
masyarakat madani.
2. Mengetahui sistem
ekonomi islam dan kesejahteraan umat.
3. Mengetahui konsep
zakat dan wakaf menurut ekonomi islam.
4.
Mengetahui peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani.
BAB
II
PEMECAHAN
MASALAH
1. Konsep Masyarakat
Madani
Masyarakat madani memiliki banyak pengertian yang telah
dikemukakan oleh beberapa pakar diberbagai negara yang mengaji dan mempelajari
tentang fenomena masyarakat madani, antaranya:
Pertama,
definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rau dengan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Soviet. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud masyarakat madani
merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan
ruang di mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu
sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini.
Kedua, yang digambarkan oleh Han Sung-joo yang belatar
belakang kasus Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan
sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu,
perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang publik yang mampu mengartikulasi
isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan
independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang
menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan
terdapat kelompok inti dalam civil society ini.
Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh Kim Sunhyuk, juga
dalam konteks Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang
secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang
secara relative otonom dari Negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari
(re) produksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik
dalam suatu ruang public, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan
kepentingan–kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan
pengelolaan yang mandiri.[1]
Makna
utama masyarakat madani adalah masyarakat yang menjadikan nilai-nilai peradaban
sebagai ciri utama. Oleh karena itu dalam sejarah pmikiran filsafat, sejak
filsafat Yunani sampai masa filsafat Islam, juga dikenal istilah madinah atau
polis, yang berarti kota, yaitu masyarakat yang maju dan berperadaban.
Masyarakat madani menjadi simbol idealisme yang diharapkan oleh setiap
masyarakat.[2]
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang
terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu :
a. Masyarakat Saba’ yaitu masyarakat di
masa Nabi Sulaiman.
Allah SWT memberi gambaran dari masyarakat
madani dengan firman-Nya dalam QS. Saba’ {34}:15:
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ
جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ
ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Artinya :
“Sesungguhnya bagi kaum
Saba´ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah
kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
"Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah
kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan
Yang Maha Pengampun".
b. Masyarakat Madinah setelah terjadi
traktat, perjanjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan
penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan
Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk
saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan
Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin
dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan
bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama
yang dianutnya.[3]
Masyarakat
madani sebagai masyarakat ideal itu memiliki karakteristik sebagai berikut: (1)
ber-Tuhan, (2) damai, (3) tolong-menolong, (4) toleran, (5) mempunyai
keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial : konsep zakat, infaq, shadaqah,
dan hibah bagi umat Islam serta jizyah dan kharaj bagi non-Islam merupakan
salah satu wujud keseimbangan yang adil dalam masalah tersebut, (6) berperadapan
tinggi, dan (7) berakhlak mulia.[4]
2.
Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
Menurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk
kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah).
Setiap ikatan atau hubungan antara seseorang dengan orang lain dan
penghasilannya yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid adalah ikatan atau
hubungan yang tidak Islami. Dengan demikian realitas dari adanya hak milik
mutlak tidak dapat diterima dalam Islam, sebab hal ini berarti mengingkari tauhid.
Manurut ajaran Islam hak milik mutlak hanya ada pada Allah SWT saja. Hal ini
berarti hak milik yang ada pada manusia hanyalah hak milik nisbi atau relatif.
Islam mengakui setiap individu sebagai pemilik apa yang diperolehnya melalui
bekerja dalam pengertian yang seluas-luasnya, dan manusia berhak untuk
mempertukarkan haknya itu dalam batas-batas yang telah ditentukan secara khusus
dalam hukum Islam. Pernyataan-pernyataan dan batas-batas hak milik dalam Islam
sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, yaitu dengan sistem keadilan dan
sesuai dengan hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Di dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama,
yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak
mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh
memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial
ekonomi di kalangan mereka saja. Islam memandang umat manusia sebagai satu
keluarga, maka setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah dan di depan
hukum yang diwahyukannya. Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap
seluruh anggota masyarakat di muka hukum tidaklah ada artinya kalau tidak
disertai dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak
atas sumbangan terhadap masyarakat. Allah melarang hak orang lain disalah
gunakan sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Syu’ara ayat 183:
وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ
مُفْسِدِينَ
Artinya:
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan
janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;
Dalam komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap
persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan
dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam
distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial
tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa
memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan
pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat,
kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat. Dalam Q.S. An-Nahl ayat 71
disebutkan:
وَاللَّهُ فَضَّلَ
بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ ۚ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُوا بِرَادِّي
رِزْقِهِمْ عَلَىٰ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَاءٌ ۚ
أَفَبِنِعْمَةِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ
Artinya:
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain
dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau
memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama
(merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.
Dalam
ukuran tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan
kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya. Kelebihan penghasilan
atau kekayaannya harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Alah. ayat-ayat
Allah yang mendorong manusia untuk mengamalkan sedekah, antara lain Q.S.
An-nisa ayat 114:
لَا
خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ
مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ
مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya:
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka,
kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah,
atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan
barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak
kami memberi kepadanya pahala yang besar.
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama
hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus
berjalan dengan serentak. Dengan melaksanakan kedua hubungan itu hidup manusia
akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak.[5]
3.
Konsep Zakat dan Wakaf Menurut Ekonomi Islam
a. Pengertian dan Dasar Hukum Zakat
Zakat adalah memberikan harta yang telah mencapai
nisab dan haul kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat
tertentu. Nisab adalah ukuran tertentu dari harta yang dimiliki yang mewajibkan
dikeluarkannya zakat, sedangkan haul adalah berjalan genap satu tahun. Zakat
juga berarti kebersihan, setiap pemeluk Islam yang mempunyai harta cukup
banyaknya menurut ketentuan (nisab) zakat, wajiblah membersihkan hartanya itu
dengan mengeluarkan zakatnya.
Dari
sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti berkah, tumbuh,
bersih, dan baik. Segala sesuatu yang bertambah disebut zakat. Menurut istilah
fikih zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk
diserahkan kepada yang berhak. Orang yang wajib zakat disebut
“muzakki”,sedangkan orang yang berhak menerima zakat disebut ”mustahiq” .Zakat merupakan
pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa untuk mengalahkan
kelemahan dan mempraktikan pengorbanan diri serta kemurahan hati. Di dalam
Alquran Allah telah berfirman sebagai berikut: Al-Baqarah: 110
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ
اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan
apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya
pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
Zakat
memiliki hikmah yang besar, bagi muzakki, mustahik, maupun bagi masyarakat
muslim pada umumnya. Bagi muzakki zakat berarti mendidik jiwa manusia untuk
suka berkorban dan membersihkan jiwa dari sifat kikir, sombong dan angkuh yang
biasanya menyertai pemilikan harta yang banyak dan berlebih. Bagi mustahik,
zakat memberikan harapan akan adanya perubahan nasib dan sekaligus
menghilangkan sifat iri, dengki dan suudzan terhadap orang-orang kaya, sehingga
jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dapat dihilangkan.
b. Wakaf
Wakaf adalah salah satu bentuk dari lembaga ekonomi
Islam. Ia merupakan lembaga Islam yang satu sisi berfungsi sebagai ibadah
kepada Allah, sedangkan di sisi lain wakaf juga berfungsi sosial. Wakaf muncul
dari satu pernyataan dan perasaan iman yang mantap dan solidaritas yang tinggi
antara sesama manusia. Dalam fungsinya sebagai ibadah ia diharapkan akan
menjadi bekal bagi si wakif di kemudian hari, karena ia merupakan suatu bentuk
amalan yang pahalanya akan terus menerus mengalir selama harta wakaf itu
dimanfaatkan. Sedangkan dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset amat bernilai
dalam pembangunan umat. Istilah wakaf berasal dari “waqafa” artinya menahan.
Menurut H. Moh. Anwar disebutkan bahwa wakaf ialah menahan sesuatu barang
daripada dijual-belikan atau diberikan atau dipinjamkan oleh yang mempunyai,
guna dijadikan manfaat untuk kepentingan sesuatu yang diperbolehkan oleh Syara’
serta tetap bentuknya dan boleh dipergunakan diambil manfaatnya oleh orang yang
ditentukan (yang meneriman wakafan), perorangan atau umum. Adapun ayat-ayat
Al-Qu’ran dan hadist yang menerangkan tentang wakaf ini ialah: Al-Baqarah ayat
267
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا
أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ
تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.
dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Abu
Hurairah r.a. menceritakan, bahwa Rasullullah SAW bersabda, “Jika seorang
manusia meninggal dunia, maka terputuslah masa ia melanjutkan amal, kecuali
mengenai tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (waqafnya) selama masih dipergunakan,
ilmunya yang dimanfaatkan masyarakat, dan anak salehnya yang mendo’akannya.”
(Riwayat Muslim). Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Rasullullah SAW mengutus
Umar untuk memungut zakat. di dalam hadist itu terdapat pula Khalid mewakafkan
baju besi dan perabot perangnya di jalan Allah.[6]
4.
Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Apa yang disebut sebagai
modern dalam kehidupan sebuah negara yang mengembangkan realitas masyarakat
madani, tidak selalu berkaitan dengan masa atau waktu. Artinya, ketika kita berbicara mengenai negara-negara modern,
kemodernan itu tidak ditentukan oleh waktu atau masa. Dalam sejarah, kemodernan
dalam kerangka waktu merujuk pada suatu episode revolusi komersial; renaisans;
revolusi industry; munculnya protestantisme; dan sebagainya. Dalam kehidupan
politik dunia ketiga, kemodernan selalu dikaitkan dengan masa-masa munculnya
kebangkitan nasional, yang kemudian bermuara dengan diperolehnya kemerdekaan.
Sifat kemodernan dalam
kaitannya dengan masyarakat madani muncul dengan mengatasi dimensi waktu.
Sebagai gantinya, kemodernan sebuah politik yang sitandai oleh, antara lain,
adanya struktur masyarakat madani lebih merujuk pada sifat-sifat yang
dikembangkan oleh bangunan politik tersebut. Hal ini tidak aneh, karena dari
sudut konsepsi, bangunan masyarakat madani ini memang awalnya dikembangkan oleh
para pemikir dan filosuf lama: Plato, Aristotheles, Hobbes, Locke, Rosseau, Bentham,
Hume, dan sebagainya.
Antara lain dari sudut
ini pulalah, kita dapat mengaitkan antara islam dengan masyarakat madani. Apa
yang ingin dikatakan di sini adalah bahwa, seperti para pemikir dan filosof
politik klasik tersebut, islam, baik yang ideal (al qur’an dan sunah) maupun
menyejarah atau yang nampak dalam kehidupan sehari-hari (sejarah dan praktik
islam), juga mengembangkan dimensi masyarakat madani. Pernyataan ini berkesan
apologis atau memuji diri sendiri, seandainya yang mengungkapkan adalah para
pemeluk islam sendiri. Apalagi, hal itu diungkapkan ditengah suasana yang
sering sekali islam dipandang sebagai sesuatau yang berlawanan dengan kehidupan
masyarakat madani. Paling tidak, menurut beberapa orang, sulit untuk menemukan
negara muslim dalam praktik yang mengembangkan masyarakat madani.
Tetapi, kalau ungkapan
apresiatif atau yang bersifat menghargai ini berasal dari kalangan ilmuan
nonmuslim atau barat, yang mengatakan bahwa ada kesesuaian antara islam dan
konsep masyarakat madani, bahkan kenyataan itu pernah ada dalam kehidupan nyata
masyarakat islam, barang kali orang akan menilai bahwa ini merupakan suatu
penilaian yang objektif. Sosiolog terkemuka dar Amerika Serikat, Robert N.
Bellah misalnya mengatakan, bahwa sesungguhnya bangunan politik yang dikembangkan
oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika berada di Madinah, adalah bersifat sangat
modern. Memang bukan organisasi atau lembaga di luar negara yang berkembang
pada waktu itu, tetapi dimensi-dimensi lain yang ada dalam bangunan konsep
masyarakat madani. Hal itu tercermin dengan jelas dalam mitsaq Al-madinah
(perjanjian madinah), yang oleh para ilmuwan politik, dianggap sebagai
konstitusi pertama sebagai negara. Dalam hal ini, sejumlah persyaratan pokok
tumbuhnya kehidupan masyarakat madani yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad
adalah prinsip kesamaan, egaliter, keadilan, dan partisipasi. Dalam konstitusi
itu disebutkan, bahwa pluralitas suku yang diikatkan dalam suatu kesepakatan,
bersama, dan dianggap sebagai umat. Tentu, umat disini bukan dalam arti agama
tetapi warga negara. Karenanya, dengan enak bani aus yahudi itu juga disebut
dengan umat madinah. Adanya aturan-aturan yang tegas ini, yang dituangkan
secara tertulis dalam perjanjian madinah, yang mengakui diterapkannya
prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan musyawarah merupakan ciri-ciri awal
terbentuknya kehidupan politik modern, yang antara lain ditandai dengan
munculnya semangat masyarakat madani. Disitu, yang ingin dikembangankan adalah
nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara yang sebanding dengan kehidupan
politik demokratis meskipun masih dalam bentuk dan strukturnya yang sederhana.
Dalam kerangka ini
pernyataan yang muncul kemudian adalah dari mana sumber transformasi atau
perubahan itu berasal. Tak ada satu jawaban yang lebih pasti bagi kita untuk
mengatakan bahwa faktor pendorong itu adalah islam. Karena sejak muncul dan
berlembangnya islam disana meskipun dalam tahap awal transformasi atau
perubahan masayarakat secara besar-besaran terjadi disana, baik dilihat dari
sudut pandang keagamaan (lebih rasional) maupun kehidupan sosial budaya,
ekonomi, dan politik (lebih berperadaban). Dalam bahasa agama proses perubahan
dari situasi jahiliyah ke berperadaban ditegaskan oleh al-Qur’an, bahwa salah
satu fungsi islam adalah membawa atau mengeluarkan masayarakat dari alam
kegelapan menuju alam terang. Dalam kehadiran islam adalah mengeluarkan umat
manusia dari kegelapan ke terang benderang. Sebanding dengan itu, yang lebih
popular adalah kehadiran islam adalah rahmat bagi alam semesta.[7]
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif
atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat
Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan
teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat
Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar
dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali,
al-Farabi, dan yang lain.
Kualitas SDM Umat Islam Dalam Q.S.
Ali Imran ayat 110 :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ
الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ
الْفَاسِقُونَ
Artinya :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa
umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah
ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas
SDMnya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud
dalam Al-Qu’ran itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil.
Posisi
umat islam SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang
unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi,
militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya
yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena
kualitas SDMnya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang
proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam.
Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam,
bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.[8]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Masyarakat
madani adalah masyarakat yang menjadikan nilai-nilai peradaban sebagai ciri
utama. Masyarakat madani menjadi simbol idealisme yang diharapkan oleh setiap
masyarakat. Masyarakat madani sebagai masyarakat ideal itu memiliki
karakteristik sebagai berikut: (1) ber-Tuhan, (2) damai, (3) tolong-menolong,
(4) toleran, (5) mempunyai keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial :
konsep zakat, infaq, shadaqah, dan hibah bagi umat Islam serta jizyah dan
kharaj bagi non-Islam merupakan salah satu wujud keseimbangan yang adil dalam
masalah tersebut, (6) berperadapan tinggi, dan (7) berakhlak mulia. Menurut
ajaran Islam dalam sistem ekonomi, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan
sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Di dalam
ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau
sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak
ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan
untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Dalam ajaran
Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan
manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat.
Kedua hubungan itu harus berjalan dengan serentak. Dengan melaksanakan kedua
hubungan itu hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat
kelak.Diantara model sumber potensi ekonomi umat adalah zakat dan wakaf. Zakat
adalah memberikan harta yang telah mencapai nisab dan haul kepada orang yang
berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan wakaf ialah menahan
sesuatu barang daripada dijual-belikan atau diberikan atau dipinjamkan oleh
yang mempunyai, guna dijadikan manfaat untuk kepentingan sesuatu yang
diperbolehkan oleh Syara‟ serta tetap bentuknya dan boleh dipergunakan diambil
manfaatnya oleh orang yang ditentukan (yang meneriman wakafan), perorangan atau
umum. Peran umat islam dalam mewujudkan
masyarakat madani terlihat dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif
atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat
Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan
teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat
Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar
dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali,
al-Farabi, dan yang lain.
[1]
: Tim ICCE UIN Jakarta. 2003. Demokrasi
Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada media Group. Hal.
238,239,240.
[2] : Mahfud, Rois. 2011. Al-Islam Pendidikan Agama Islam.
Jakarta: Erlangga. Hal 159.
[3]: Soim, Muhammad. 2015. Miniatur Masyarakat Madani. Riau: Jurnal
Risalah. Vol.26, No.1, hal 27.
[5]: Soim, Muhammad. 2015. Miniatur Masyarakat Madani. Riau: Jurnal
Risalah. Vol.26, No.1, hal 29-30.
[6]: Soim, Muhammad. 2015. Miniatur Masyarakat Madani. Riau: Jurnal
Risalah. Vol.26, No.1, hal 30-31.
Vat Table Tennis Vat Table Tennis, Darts, Skateboarding, Tennis
BalasHapusVat Table Tennis vat titanium eyeglasses Table Tennis, Darts, Skateboarding, Tennis. titanium linear compensator Darts Table Tennis babyliss pro nano titanium hair dryer Vat man titanium bracelet Table Tennis, titanium trimmer Darts, Skateboarding, Tennis. Darts Table Tennis, Darts, Skateboarding