Minggu, 20 Mei 2018

Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab  “syarak” yang artinya ikut serta, berpastisipasi, atau “masyaraka” yang berarti saling bergaul. Secara umum, masyarakat merupakan kumpulan individu-individu yang hidup bersama untuk memperoleh kepentingan bersama dalam tatanan kehidupan didalam  lingkungannya. Sejak dahulu kita telah hidup bermasyarakat hingga saat ini. Mayoritas masyarakat tentu menginginkan dalam sebuah aspek kehidupan yaitu kehidupan yang mandiri dalam aktifitas masyarakatnya dan berkembang. Kehidupan tersebut dapat menciptakan adanya keadilan dan kesataraan bagi umat manusia dalam hidup bermasyarakat.
Saat ini kita mulai berproses menjadi masyarakat madani. Menjadi masyarakat madani tentu melalui proses panjang. Semua potensi yang dimiliki bangsa Indonesia dipersiapkan dan diberdayakan untuk terciptanya cita-cita bangsa yaitu menuju masyarakat madani.Masyarakat madani merupakan masyarakat yang maju dan berperadaban. Berbicara mengenai masyarakat madani tentu berhubungan erat dengan Madinah. Karena Madinah-lah Nabi Muhammad SAW menerapkan nilai- nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan hukum, jaminan keadilan untuk semua warga serta perlindungan terhadap kaum minoritas. Selain itu kita juga harus meneladani sikap kaum muslim madinah pada masa itu yang dapat hidup seimbang. Maksud dari hidup seimbang tersebut yaitu tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka mampu bersikap seimbang dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebangkitan dan kesejahteraan umat islam dapat diperoleh apabila sikap seimbang tersebut dapat diteladani oleh setiap umat islam.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep masyarakat madani ?.
2. Bagaimana sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat ?.
3. Bagaimana konsep zakat dan wakaf menurut ekonomi islam ?.
4. Bagaimana peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani ?
1.3 TUJUAN
1. Mengetahui konsep masyarakat madani.
2. Mengetahui sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat.
3. Mengetahui konsep zakat dan wakaf menurut ekonomi islam.
4. Mengetahui peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani.


BAB II
PEMECAHAN MASALAH


1. Konsep Masyarakat Madani
Masyarakat madani memiliki banyak pengertian yang telah dikemukakan oleh beberapa pakar diberbagai negara yang mengaji dan mempelajari tentang fenomena masyarakat madani, antaranya:
Pertama, definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rau dengan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Soviet. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang di mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini.
Kedua, yang digambarkan oleh Han Sung-joo yang belatar belakang kasus Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu  ruang publik yang mampu mengartikulasi isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini.
Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh Kim Sunhyuk, juga dalam konteks Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relative otonom dari Negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari (re) produksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang public, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan–kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.[1]
Makna utama masyarakat madani adalah masyarakat yang menjadikan nilai-nilai peradaban sebagai ciri utama. Oleh karena itu dalam sejarah pmikiran filsafat, sejak filsafat Yunani sampai masa filsafat Islam, juga dikenal istilah madinah atau polis, yang berarti kota, yaitu masyarakat yang maju dan berperadaban. Masyarakat madani menjadi simbol idealisme yang diharapkan oleh setiap masyarakat.[2]
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu :
a. Masyarakat Saba’ yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
Allah SWT memberi gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam QS. Saba’ {34}:15:
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Artinya :
“Sesungguhnya bagi kaum Saba´ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".
b. Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.[3]
Masyarakat madani sebagai masyarakat ideal itu memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) ber-Tuhan, (2) damai, (3) tolong-menolong, (4) toleran, (5) mempunyai keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial : konsep zakat, infaq, shadaqah, dan hibah bagi umat Islam serta jizyah dan kharaj bagi non-Islam merupakan salah satu wujud keseimbangan yang adil dalam masalah tersebut, (6) berperadapan tinggi, dan (7) berakhlak mulia.[4]
2. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
Menurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Setiap ikatan atau hubungan antara seseorang dengan orang lain dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid adalah ikatan atau hubungan yang tidak Islami. Dengan demikian realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima dalam Islam, sebab hal ini berarti mengingkari tauhid. Manurut ajaran Islam hak milik mutlak hanya ada pada Allah SWT saja. Hal ini berarti hak milik yang ada pada manusia hanyalah hak milik nisbi atau relatif. Islam mengakui setiap individu sebagai pemilik apa yang diperolehnya melalui bekerja dalam pengertian yang seluas-luasnya, dan manusia berhak untuk mempertukarkan haknya itu dalam batas-batas yang telah ditentukan secara khusus dalam hukum Islam. Pernyataan-pernyataan dan batas-batas hak milik dalam Islam sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, yaitu dengan sistem keadilan dan sesuai dengan hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Di dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah dan di depan hukum yang diwahyukannya. Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di muka hukum tidaklah ada artinya kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangan terhadap masyarakat. Allah melarang hak orang lain disalah gunakan sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Syu’ara ayat 183:

وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Artinya:
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;
Dalam komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat. Dalam Q.S. An-Nahl ayat 71 disebutkan:

وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ ۚ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُوا بِرَادِّي رِزْقِهِمْ عَلَىٰ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَاءٌ ۚ أَفَبِنِعْمَةِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ
Artinya:
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.
Dalam ukuran tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Alah. ayat-ayat Allah yang mendorong manusia untuk mengamalkan sedekah, antara lain Q.S. An-nisa ayat 114:

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Artinya:
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan dengan serentak. Dengan melaksanakan kedua hubungan itu hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak.[5]
3. Konsep Zakat dan Wakaf Menurut Ekonomi Islam
a. Pengertian dan Dasar Hukum Zakat
Zakat adalah memberikan harta yang telah mencapai nisab dan haul kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Nisab adalah ukuran tertentu dari harta yang dimiliki yang mewajibkan dikeluarkannya zakat, sedangkan haul adalah berjalan genap satu tahun. Zakat juga berarti kebersihan, setiap pemeluk Islam yang mempunyai harta cukup banyaknya menurut ketentuan (nisab) zakat, wajiblah membersihkan hartanya itu dengan mengeluarkan zakatnya.
Dari sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Segala sesuatu yang bertambah disebut zakat. Menurut istilah fikih zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada yang berhak. Orang yang wajib zakat disebut “muzakki”,sedangkan orang yang berhak menerima zakat disebut ”mustahiq” .Zakat merupakan pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa untuk mengalahkan kelemahan dan mempraktikan pengorbanan diri serta kemurahan hati. Di dalam Alquran Allah telah berfirman sebagai berikut: Al-Baqarah: 110

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
Zakat memiliki hikmah yang besar, bagi muzakki, mustahik, maupun bagi masyarakat muslim pada umumnya. Bagi muzakki zakat berarti mendidik jiwa manusia untuk suka berkorban dan membersihkan jiwa dari sifat kikir, sombong dan angkuh yang biasanya menyertai pemilikan harta yang banyak dan berlebih. Bagi mustahik, zakat memberikan harapan akan adanya perubahan nasib dan sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan suudzan terhadap orang-orang kaya, sehingga jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dapat dihilangkan.

b. Wakaf

Wakaf adalah salah satu bentuk dari lembaga ekonomi Islam. Ia merupakan lembaga Islam yang satu sisi berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, sedangkan di sisi lain wakaf juga berfungsi sosial. Wakaf muncul dari satu pernyataan dan perasaan iman yang mantap dan solidaritas yang tinggi antara sesama manusia. Dalam fungsinya sebagai ibadah ia diharapkan akan menjadi bekal bagi si wakif di kemudian hari, karena ia merupakan suatu bentuk amalan yang pahalanya akan terus menerus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Sedangkan dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset amat bernilai dalam pembangunan umat. Istilah wakaf berasal dari “waqafa” artinya menahan. Menurut H. Moh. Anwar disebutkan bahwa wakaf ialah menahan sesuatu barang daripada dijual-belikan atau diberikan atau dipinjamkan oleh yang mempunyai, guna dijadikan manfaat untuk kepentingan sesuatu yang diperbolehkan oleh Syara’ serta tetap bentuknya dan boleh dipergunakan diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan (yang meneriman wakafan), perorangan atau umum. Adapun ayat-ayat Al-Qu’ran dan hadist yang menerangkan tentang wakaf ini ialah: Al-Baqarah ayat 267

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Abu Hurairah r.a. menceritakan, bahwa Rasullullah SAW bersabda, “Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah masa ia melanjutkan amal, kecuali mengenai tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (waqafnya) selama masih dipergunakan, ilmunya yang dimanfaatkan masyarakat, dan anak salehnya yang mendo’akannya.” (Riwayat Muslim). Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Rasullullah SAW mengutus Umar untuk memungut zakat. di dalam hadist itu terdapat pula Khalid mewakafkan baju besi dan perabot perangnya di jalan Allah.[6]
4. Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Apa yang disebut sebagai modern dalam kehidupan sebuah negara yang mengembangkan realitas masyarakat madani, tidak selalu berkaitan dengan masa atau waktu. Artinya, ketika  kita berbicara mengenai negara-negara modern, kemodernan itu tidak ditentukan oleh waktu atau masa. Dalam sejarah, kemodernan dalam kerangka waktu merujuk pada suatu episode revolusi komersial; renaisans; revolusi industry; munculnya protestantisme; dan sebagainya. Dalam kehidupan politik dunia ketiga, kemodernan selalu dikaitkan dengan masa-masa munculnya kebangkitan nasional, yang kemudian bermuara dengan diperolehnya kemerdekaan.
Sifat kemodernan dalam kaitannya dengan masyarakat madani muncul dengan mengatasi dimensi waktu. Sebagai gantinya, kemodernan sebuah politik yang sitandai oleh, antara lain, adanya struktur masyarakat madani lebih merujuk pada sifat-sifat yang dikembangkan oleh bangunan politik tersebut. Hal ini tidak aneh, karena dari sudut konsepsi, bangunan masyarakat madani ini memang awalnya dikembangkan oleh para pemikir dan filosuf lama: Plato, Aristotheles, Hobbes, Locke, Rosseau, Bentham, Hume, dan sebagainya.
Antara lain dari sudut ini pulalah, kita dapat mengaitkan antara islam dengan masyarakat madani. Apa yang ingin dikatakan di sini adalah bahwa, seperti para pemikir dan filosof politik klasik tersebut, islam, baik yang ideal (al qur’an dan sunah) maupun menyejarah atau yang nampak dalam kehidupan sehari-hari (sejarah dan praktik islam), juga mengembangkan dimensi masyarakat madani. Pernyataan ini berkesan apologis atau memuji diri sendiri, seandainya yang mengungkapkan adalah para pemeluk islam sendiri. Apalagi, hal itu diungkapkan ditengah suasana yang sering sekali islam dipandang sebagai sesuatau yang berlawanan dengan kehidupan masyarakat madani. Paling tidak, menurut beberapa orang, sulit untuk menemukan negara muslim dalam praktik yang mengembangkan masyarakat madani.
Tetapi, kalau ungkapan apresiatif atau yang bersifat menghargai ini berasal dari kalangan ilmuan nonmuslim atau barat, yang mengatakan bahwa ada kesesuaian antara islam dan konsep masyarakat madani, bahkan kenyataan itu pernah ada dalam kehidupan nyata masyarakat islam, barang kali orang akan menilai bahwa ini merupakan suatu penilaian yang objektif. Sosiolog terkemuka dar Amerika Serikat, Robert N. Bellah misalnya mengatakan, bahwa sesungguhnya bangunan politik yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika berada di Madinah, adalah bersifat sangat modern. Memang bukan organisasi atau lembaga di luar negara yang berkembang pada waktu itu, tetapi dimensi-dimensi lain yang ada dalam bangunan konsep masyarakat madani. Hal itu tercermin dengan jelas dalam mitsaq Al-madinah (perjanjian madinah), yang oleh para ilmuwan politik, dianggap sebagai konstitusi pertama sebagai negara. Dalam hal ini, sejumlah persyaratan pokok tumbuhnya kehidupan masyarakat madani yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad adalah prinsip kesamaan, egaliter, keadilan, dan partisipasi. Dalam konstitusi itu disebutkan, bahwa pluralitas suku yang diikatkan dalam suatu kesepakatan, bersama, dan dianggap sebagai umat. Tentu, umat disini bukan dalam arti agama tetapi warga negara. Karenanya, dengan enak bani aus yahudi itu juga disebut dengan umat madinah. Adanya aturan-aturan yang tegas ini, yang dituangkan secara tertulis dalam perjanjian madinah, yang mengakui diterapkannya prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan musyawarah merupakan ciri-ciri awal terbentuknya kehidupan politik modern, yang antara lain ditandai dengan munculnya semangat masyarakat madani. Disitu, yang ingin dikembangankan adalah nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara yang sebanding dengan kehidupan politik demokratis meskipun masih dalam bentuk dan strukturnya yang sederhana.
Dalam kerangka ini pernyataan yang muncul kemudian adalah dari mana sumber transformasi atau perubahan itu berasal. Tak ada satu jawaban yang lebih pasti bagi kita untuk mengatakan bahwa faktor pendorong itu adalah islam. Karena sejak muncul dan berlembangnya islam disana meskipun dalam tahap awal transformasi atau perubahan masayarakat secara besar-besaran terjadi disana, baik dilihat dari sudut pandang keagamaan (lebih rasional) maupun kehidupan sosial budaya, ekonomi, dan politik (lebih berperadaban). Dalam bahasa agama proses perubahan dari situasi jahiliyah ke berperadaban ditegaskan oleh al-Qur’an, bahwa salah satu fungsi islam adalah membawa atau mengeluarkan masayarakat dari alam kegelapan menuju alam terang. Dalam kehadiran islam adalah mengeluarkan umat manusia dari kegelapan ke terang benderang. Sebanding dengan itu, yang lebih popular adalah kehadiran islam adalah rahmat bagi alam semesta.[7]
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
Kualitas SDM Umat Islam Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110 :

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDMnya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qu’ran itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil.
Posisi umat islam SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDMnya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.[8]

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjadikan nilai-nilai peradaban sebagai ciri utama. Masyarakat madani menjadi simbol idealisme yang diharapkan oleh setiap masyarakat. Masyarakat madani sebagai masyarakat ideal itu memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) ber-Tuhan, (2) damai, (3) tolong-menolong, (4) toleran, (5) mempunyai keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial : konsep zakat, infaq, shadaqah, dan hibah bagi umat Islam serta jizyah dan kharaj bagi non-Islam merupakan salah satu wujud keseimbangan yang adil dalam masalah tersebut, (6) berperadapan tinggi, dan (7) berakhlak mulia. Menurut ajaran Islam dalam sistem ekonomi, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Di dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan dengan serentak. Dengan melaksanakan kedua hubungan itu hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak.Diantara model sumber potensi ekonomi umat adalah zakat dan wakaf. Zakat adalah memberikan harta yang telah mencapai nisab dan haul kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan wakaf ialah menahan sesuatu barang daripada dijual-belikan atau diberikan atau dipinjamkan oleh yang mempunyai, guna dijadikan manfaat untuk kepentingan sesuatu yang diperbolehkan oleh Syara‟ serta tetap bentuknya dan boleh dipergunakan diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan (yang meneriman wakafan), perorangan atau umum.  Peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani terlihat dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.



[1] : Tim ICCE UIN Jakarta. 2003. Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada media Group. Hal. 238,239,240.
[2] : Mahfud, Rois. 2011. Al-Islam Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga. Hal 159.
[3]: Soim, Muhammad. 2015. Miniatur Masyarakat Madani. Riau: Jurnal Risalah. Vol.26, No.1, hal 27.
[4]: Mahfud, Rois. 2011. Al-Islam Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga. Hal 160.
[5]: Soim, Muhammad. 2015. Miniatur Masyarakat Madani. Riau: Jurnal Risalah. Vol.26, No.1, hal 29-30.
[6]: Soim, Muhammad. 2015. Miniatur Masyarakat Madani. Riau: Jurnal Risalah. Vol.26, No.1, hal 30-31.
[7]: Bahtiar Effendy. 2001. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta : Galang Pres.
[8]: Soim, Muhammad. 2015. Miniatur Masyarakat Madani. Riau: Jurnal Risalah. Vol.26, No.1, hal 29.

1 komentar:

  1. Vat Table Tennis Vat Table Tennis, Darts, Skateboarding, Tennis
    Vat Table Tennis vat titanium eyeglasses Table Tennis, Darts, Skateboarding, Tennis. titanium linear compensator Darts Table Tennis babyliss pro nano titanium hair dryer Vat man titanium bracelet Table Tennis, titanium trimmer Darts, Skateboarding, Tennis. Darts Table Tennis, Darts, Skateboarding

    BalasHapus

Introduce My Self

  Introduce My Self     Hai Semua.... Welcome to my blog... Kali ini aku akan memperkenalkan diri... Ini merupakan ba...